Looking For Anything Specific?

ads header

PilPres 2014: hanya sebuah buah pikiran


Sudah tinggal hitungan hari menyambut hari yang paling ditunggu, untuk sebuah pembaharuan di Negara ini. Pemilihan umum untuk presiden dan wakil presiden Indonesia. Tahun ini sudah ada dua calon kuat yang bersaing untuk menduduki kursi pemimpin tersebut.

Saya adalah gadis berusia hampir 20 tahun dan memiliki hak pilih yang sah. Seharusnya, pada pemilihan presiden dan wakil presiden nanti, menjadi pemilihan ke-4 yang saya ikuti. Tapi jujur saja, saya pernah golput, bahkan sudah 2 kali.

Golput pertama saya adalah ketika pemilihan gubernur untuk wilayah DKI Jakarta. Lalu, saya kembali golput ketika pemilihan gubernur untuk daerah Jawa Barat. Lho kok? Iya, saya memiliki dua hak suara untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat. Karena saya pernah tinggal di Jakarta Selatan dengan saudara saya dan mendapatkan Kartu Keluarga DKI Jakarta ketika saya masih tinggal disana. Sekarang, saya pindah (sendiri) ke Depok, Jawa Barat, ke rumah orangtua saya dan memiliki Kartu Tanda Penduduk wilayah Jawa Barat.

Ada beberapa alasan kenapa saya golput ketika itu. Pertama, saya tidak ikut pemilihan gubernur DKI Jakarta karena saya memang sudah tak lagi tinggal di Jakarta. Kedua, saya tidak ikut pemilihan gubernur Jawa Barat karena memang ada urusan yang penting di Kampus saya. Terakhir, saya mulai muak dan keecewa.

Kenapa kecewa?

Dulu ketika saya belum mendapat kesempatan untuk memilih, saya sangat berharap bahwa suatu hari nanti ketika saya mendapatkan kesempatan memilih saya akan berpartisipasi dalam pemilihan untuk menunjukkan jati diri saya sebagai rakyat yang baik. Namun, seiring bertambahnya usia saya, saya melihat, membaca dan mendengar berita-berita negatif tentang para pemerintah di Negara ini. Mungkin kalian bisa berpikir bahwa saya terlalu terkontaminasi oleh berita-berita tersebut. Saya merasa begitu marah dan kecewa. Hingga kemarahan saya berubah menjadi perasaan muak.

Siapa yang tak kesal, mengetahui uang pajak yang selama ini disetor para karyawan dan pekerja yang sudah bekerja mati-matian malah dinikmati oleh orang-orang yang diberi amanah menduduki kursi kepemimpinan di negeri ini? Bukan untuk pembangunan untuk Negara ini. Siapa yang tak marah, ketika mengetahui seorang penjahat yang tak bertanggung jawab atas ‘musibah’ lumpur lapindo masih dapat tertawa dan tidur nyenyak dilindungi oleh ‘pemerintah’ kita, dan lagi-lagi rakyat yang harus menanggung ‘kesalahan’ yang dia buat dengan menggunakan pajak yang sudah disetor ke Negara. Siapa yang tidak berang, ketika mengetahui adanya korupsi untuk pengadaan Al-Qur’an? Naudzubillahi min dzalik. 

Saya memang masih belum bekerja, jadi saya belum membayar pajak untuk gaji diri saya. Tapi, kedua orangtua saya adalah pekerja yang tiap hari mengeluarkan bulir-bulir keringat dan menyetorkan pajak untuk Negara. Tapi, saya juga konsumen yang membayar PPn ketika berbelanja. Dan saya adalah rakyat yang menaruh kepercayaan untuk orang-orang tersebut untuk memimpin kami demi Indonesia yang lebih baik.

Kenapa saya muak?

Saya adalah seorang mahasiswi di sebuah Universitas Swasta di Jakarta dan mengambil studi Sastra Jepang. Di jurusan Sastra Jepang ini, kami tidak hanya belajar mengenai bahasa Jepang semata, melainkan budaya bahkan politik nya. Suatu hari, sensei saya (re: dosen) pernah bercerita kepada kami (mahasiswa/i). Bahwa ada pejabat di Jepang yang mengundurkan diri hanya karena salah bicara di publik dan ada juga yang mengundurkan diri karena terindikasi akan melakukan korupsi. Sekali lagi, HANYA salah berbicara dan BARU TERINDIKASI akan melakukan korupsi. Lalu, pejabat-pejabat yang mengundurkan diri karena melakukan kesalahan tersebut akan berbicara di depan publik untuk menyatakan pengunduran diri mereka juga mengakui kesalahan yang mereka perbuat dengan derai airmata, merasa malu dan bahkan ada yang bersujud meminta maaf kepada rakyatnya. Lalu, kali lain mereka hanya akan menjadi rakyat biasa. Dua peristiwa ini saya jadikan tolak ukur dengan sikap para ‘orang besar’ di negara tercinta kita, hasilnya? Berbanding jauh layaknya langit ke tujuh dengan tanah.

Jepang memang memiliki RASA MALU yang tinggi, apalagi ketika mereka merasa telah melakukan hal yang salah. Rasa malu mereka benar-benar mengakar di benak tiap-tiap warga negara dan bahkan pemerintah nya. Bagaimana dengan rasa malu yang dimiliki para pejabat kita? Wah, saya hanya bisa tertawa miris ketika melihat berita di televisi, melihat seorang koruptor yang masih bisa tersenyum dan tertawa ketika di wawancarai.

Bukan saya memuja Jepang terlalu tinggi, tapi peristiwa itu memang nyata terjadi. Bukan karena saya adalah seorang mahasiswi dari jurusan Sastra Jepang hingga membuat saya membanding-banding kan Indonesia dengan Jepang dan membuat seolah-olah Jepang memiliki citra yang begitu baik. Tapi, saya adalah rakyat Indonesia yang membuka pikiran dan melihat data tentang pemerintah-pemerintah di luar Indonesia. Toh, kalian juga bisa lihat bahwa para pemerintah di Denmark bisa mengayuh dengan sepeda untuk sampai ke kantor atau menaiki kereta layaknya rakyat biasa ke kantor mereka. Dan berbagai contoh sikap positif yang dimiliki oleh pemerintah lain di luar Indonesia.

Karena perasaan kecewa dan muak tersebut makin melambung tinggi di pikiran saya, maka saya putuskan untuk golput.

Namun, ketika pemilihan umum pada bulan April lalu, saya tidak lagi golput. Saya sudah diceramahi oleh berbagai orang agar saya memakai suara saya. Agar tidak digunakan semena-mena oleh oknum-oknum yang menginginkan agar dapat menduduki kursi pemerintahan. Terlebih, ayah saya adalah salah seorang pejabat kecil di kota Depok. Yang menceramahi saya panjang lebar. Jadilah saya berpartisipasi dalam pemilihan umum legislatif.

Kini, saya memastikan untuk tidak lagi golput. Saya pasti ikut memilih presiden dan wakil presiden mendatang.

Meskipun, sudah jauh-jauh hari orang-orang mendukung capres dan cawapres pilihan mereka, saya masih belum memiliki calon pasti untuk saya pilih. Banyak orang yang berusaha menghasut secara nyata agar memilih capres dan cawapres pilihan mereka. Ada juga orang yang membeberkan hal-hal positif tentang capres dan cawapres pilihan mereka agar orang-orang tertarik. Ada juga orang yang ikut berkampanye terang-terangan, menjelaskan mereka adalah relawan. Masing-masing orang memiliki cara tersendiri untuk mendukung.

Tapi tidak dengan saya. Saya memilih untuk diam mengenai pilihan saya. Bukan kah salah satu sifat dari pemilu adalah kerahasiaan? Saya tidak mau menjunjung tinggi nomor satu dan membuat citra buruk tentang nomor dua, begitu pun sebaliknya. Saya tidak mau membeberkan kubu mana yang saya ikuti atau kubu mana yang saya jauhi.

Saya merasa sikap orang-orang yang sudah menjadi simpatisan ini mulai berlebihan dan tak masuk akal. Saling menjatuhkan dengan kubu lain untuk memenangkan kubu mereka, dengan cara apapun. Menyinggung SARA, menghina, menuding hingga memfitnah. Astagfirullah, miris.

Ditambah lagi, saya sudah merasa media tak lagi netral. Sebagian besar dimata saya, media mulai memojokkan salah satu capres/cawapres lalu meninggikan capres/cawapres satu nya. Saya tahu, itu bisa masuk salah satu strategi untuk meraup suara, karena media memiliki andil besar untuk memengaruhi pikiran rakyat.

Ah, sudahlah. Saya hanya bisa menetapkan pilihan di dalam hati dan membaca basmalah ketika saya sudah berada di bilik suara nanti. Saya berdoa, semoga siapa pun yang akan terpilih nanti untuk menjadi presiden dan wakil presiden nanti dapat membawa angin segar dan membuat Indonesia menjadi negara yang lebih baik. Semoga siapa pun yang akan terpilih nanti untuk menjadi presiden dan wakil presiden nanti dapat menjadi pemimpin yang Amanah, dapat memegang kepercayaan rakyat nya.

Semoga kamu juga ikut berpartisipasi dalam pemilihan ini, jangan biarkan ada hak suara mu terbuang percuma. Jangan biarkan hak suara mu dipakai oknum tak bertanggung jawab hingga membuat kubu nya menang dengan cara yang curang. Berikan suara mu, demi Indonesia di masa mendatang. 

salam, 

Y.H.

Posting Komentar

0 Komentar