Sudah
tinggal hitungan hari menyambut hari yang paling ditunggu, untuk sebuah
pembaharuan di Negara ini. Pemilihan umum untuk presiden dan wakil presiden
Indonesia. Tahun ini sudah ada dua calon kuat yang bersaing untuk menduduki
kursi pemimpin tersebut.
Saya
adalah gadis berusia hampir 20 tahun dan memiliki hak pilih yang sah. Seharusnya,
pada pemilihan presiden dan wakil presiden nanti, menjadi pemilihan ke-4 yang
saya ikuti. Tapi jujur saja, saya pernah golput, bahkan sudah 2 kali.
Golput
pertama saya adalah ketika pemilihan gubernur untuk wilayah DKI Jakarta. Lalu,
saya kembali golput ketika pemilihan gubernur untuk daerah Jawa Barat. Lho kok?
Iya, saya memiliki dua hak suara untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat. Karena saya
pernah tinggal di Jakarta Selatan dengan saudara saya dan mendapatkan Kartu
Keluarga DKI Jakarta ketika saya masih tinggal disana. Sekarang, saya pindah
(sendiri) ke Depok, Jawa Barat, ke rumah orangtua saya dan memiliki Kartu Tanda
Penduduk wilayah Jawa Barat.
Ada
beberapa alasan kenapa saya golput ketika itu. Pertama, saya tidak ikut
pemilihan gubernur DKI Jakarta karena saya memang sudah tak lagi tinggal di
Jakarta. Kedua, saya tidak ikut pemilihan gubernur Jawa Barat karena memang ada
urusan yang penting di Kampus saya. Terakhir, saya mulai muak dan keecewa.
Kenapa
kecewa?
Dulu
ketika saya belum mendapat kesempatan untuk memilih, saya sangat berharap bahwa
suatu hari nanti ketika saya mendapatkan kesempatan memilih saya akan
berpartisipasi dalam pemilihan untuk menunjukkan jati diri saya sebagai rakyat
yang baik. Namun, seiring bertambahnya usia saya, saya melihat, membaca dan
mendengar berita-berita negatif tentang para pemerintah di Negara ini. Mungkin kalian
bisa berpikir bahwa saya terlalu terkontaminasi oleh berita-berita tersebut. Saya
merasa begitu marah dan kecewa. Hingga kemarahan saya berubah menjadi perasaan
muak.
Siapa
yang tak kesal, mengetahui uang pajak yang selama ini disetor para karyawan dan
pekerja yang sudah bekerja mati-matian malah dinikmati oleh orang-orang yang diberi
amanah menduduki kursi kepemimpinan di negeri ini? Bukan untuk pembangunan
untuk Negara ini. Siapa yang tak marah, ketika mengetahui seorang penjahat yang
tak bertanggung jawab atas ‘musibah’ lumpur lapindo masih dapat tertawa dan
tidur nyenyak dilindungi oleh ‘pemerintah’ kita, dan lagi-lagi rakyat yang
harus menanggung ‘kesalahan’ yang dia buat dengan menggunakan pajak yang sudah
disetor ke Negara. Siapa yang tidak berang, ketika mengetahui adanya korupsi
untuk pengadaan Al-Qur’an? Naudzubillahi min dzalik.
Saya
memang masih belum bekerja, jadi saya belum membayar pajak untuk gaji diri
saya. Tapi, kedua orangtua saya adalah pekerja yang tiap hari mengeluarkan
bulir-bulir keringat dan menyetorkan pajak untuk Negara. Tapi, saya juga
konsumen yang membayar PPn ketika berbelanja. Dan saya adalah rakyat yang
menaruh kepercayaan untuk orang-orang tersebut untuk memimpin kami demi
Indonesia yang lebih baik.
Kenapa
saya muak?
Saya
adalah seorang mahasiswi di sebuah Universitas Swasta di Jakarta dan mengambil
studi Sastra Jepang. Di jurusan Sastra Jepang ini, kami tidak hanya belajar
mengenai bahasa Jepang semata, melainkan budaya bahkan politik nya. Suatu hari,
sensei saya (re: dosen) pernah bercerita kepada kami (mahasiswa/i). Bahwa ada
pejabat di Jepang yang mengundurkan diri hanya karena salah bicara di publik
dan ada juga yang mengundurkan diri karena terindikasi akan melakukan korupsi. Sekali
lagi, HANYA salah berbicara dan BARU TERINDIKASI akan melakukan
korupsi. Lalu, pejabat-pejabat yang mengundurkan diri karena melakukan
kesalahan tersebut akan berbicara di depan publik untuk menyatakan pengunduran
diri mereka juga mengakui kesalahan yang mereka perbuat dengan derai airmata,
merasa malu dan bahkan ada yang
bersujud meminta maaf kepada rakyatnya. Lalu, kali lain mereka hanya akan
menjadi rakyat biasa. Dua peristiwa ini saya jadikan tolak ukur dengan sikap
para ‘orang besar’ di negara tercinta kita, hasilnya? Berbanding jauh layaknya
langit ke tujuh dengan tanah.
Jepang
memang memiliki RASA MALU yang
tinggi, apalagi ketika mereka merasa telah melakukan hal yang salah. Rasa malu
mereka benar-benar mengakar di benak tiap-tiap warga negara dan bahkan
pemerintah nya. Bagaimana dengan rasa malu yang dimiliki para pejabat kita? Wah,
saya hanya bisa tertawa miris ketika melihat berita di televisi, melihat
seorang koruptor yang masih bisa tersenyum dan tertawa ketika di wawancarai.
Bukan
saya memuja Jepang terlalu tinggi, tapi peristiwa itu memang nyata terjadi. Bukan
karena saya adalah seorang mahasiswi dari jurusan Sastra Jepang hingga membuat
saya membanding-banding kan Indonesia dengan Jepang dan membuat seolah-olah
Jepang memiliki citra yang begitu baik. Tapi, saya adalah rakyat Indonesia yang
membuka pikiran dan melihat data tentang pemerintah-pemerintah di luar
Indonesia. Toh, kalian juga bisa
lihat bahwa para pemerintah di Denmark bisa mengayuh dengan sepeda untuk sampai
ke kantor atau menaiki kereta layaknya rakyat biasa ke kantor mereka. Dan berbagai
contoh sikap positif yang dimiliki oleh pemerintah lain di luar Indonesia.
Karena perasaan kecewa dan muak tersebut
makin melambung tinggi di pikiran saya, maka saya putuskan untuk golput.
Namun,
ketika pemilihan umum pada bulan April lalu, saya tidak lagi golput. Saya sudah
diceramahi oleh berbagai orang agar saya memakai suara saya. Agar tidak
digunakan semena-mena oleh oknum-oknum yang menginginkan agar dapat menduduki
kursi pemerintahan. Terlebih, ayah saya adalah salah seorang pejabat kecil di
kota Depok. Yang menceramahi saya panjang lebar. Jadilah saya berpartisipasi
dalam pemilihan umum legislatif.
Kini, saya memastikan untuk tidak lagi
golput. Saya pasti ikut memilih presiden dan wakil presiden mendatang.
Meskipun,
sudah jauh-jauh hari orang-orang mendukung capres dan cawapres pilihan mereka,
saya masih belum memiliki calon pasti untuk saya pilih. Banyak orang yang
berusaha menghasut secara nyata agar memilih capres dan cawapres pilihan mereka.
Ada juga orang yang membeberkan hal-hal positif tentang capres dan cawapres
pilihan mereka agar orang-orang tertarik. Ada juga orang yang ikut berkampanye
terang-terangan, menjelaskan mereka adalah relawan. Masing-masing orang
memiliki cara tersendiri untuk mendukung.
Tapi
tidak dengan saya. Saya memilih untuk diam mengenai pilihan saya. Bukan kah salah
satu sifat dari pemilu adalah kerahasiaan? Saya tidak mau menjunjung tinggi
nomor satu dan membuat citra buruk tentang nomor dua, begitu pun sebaliknya. Saya
tidak mau membeberkan kubu mana yang saya ikuti atau kubu mana yang saya jauhi.
Saya
merasa sikap orang-orang yang sudah menjadi simpatisan ini mulai berlebihan dan
tak masuk akal. Saling menjatuhkan dengan kubu lain untuk memenangkan kubu
mereka, dengan cara apapun. Menyinggung SARA, menghina, menuding hingga
memfitnah. Astagfirullah, miris.
Ditambah
lagi, saya sudah merasa media tak lagi netral. Sebagian besar dimata saya, media
mulai memojokkan salah satu capres/cawapres lalu meninggikan capres/cawapres
satu nya. Saya tahu, itu bisa masuk salah satu strategi untuk meraup suara,
karena media memiliki andil besar untuk memengaruhi pikiran rakyat.
Ah,
sudahlah. Saya hanya bisa menetapkan pilihan di dalam hati dan membaca basmalah
ketika saya sudah berada di bilik suara nanti. Saya berdoa, semoga siapa pun yang
akan terpilih nanti untuk menjadi presiden dan wakil presiden nanti dapat
membawa angin segar dan membuat Indonesia menjadi negara yang lebih baik. Semoga
siapa pun yang akan terpilih nanti untuk menjadi presiden dan wakil presiden
nanti dapat menjadi pemimpin yang Amanah, dapat memegang kepercayaan rakyat nya.
Semoga kamu juga ikut berpartisipasi dalam pemilihan ini, jangan biarkan ada hak suara mu terbuang percuma. Jangan biarkan hak suara mu dipakai oknum tak bertanggung jawab hingga membuat kubu nya menang dengan cara yang curang. Berikan suara mu, demi Indonesia di masa mendatang.
salam,
Y.H.
0 Komentar