Selamat
siang.
Buku
pertama dalam bulan ini yang sudah saya habiskan adalah karya pertama dari
Haruki Murakami ini, Dengarlah nyanyian angin. Diterbitkan versi terjemahan
Bahasa Indonesia oleh KPG dengan cetakan
pertama tahun 2008. Saya bertemu dengan buku ini di perpustakaan kampus saya,
memang saya jadi makin jatuh cinta dengan koleksi buku mereka. Buku ini terbit
pada tahun 1979 ini langsung menyabet kemenangan dari Gunzo Literary Award.
Sebenarnya
saya sudah lama menyelesaikannya pada awal bulan, tapi yang namanya virus malas
menulis ini memang luar biasa menjakiti siapa saja.
Dalam
buku ini ada tiga tokoh utama yang menonjol yakni aku, Nezumi dan seorang gadis
misterius yang sebelah tangannya hanya memiliki empat jari. Aku adalah seseorang
yang terobsesi dengan penulis John Heartfield yang sudah meninggal, karena
baginya penulis yang sudah meninggal memberikan kesan yang lebih mendalam pada
karya-karya yang telah dibuatnya. Nezumi adalah pemuda yang terlahir dari
keluarga kaya dan memiliki banyak kegamangan, suka menghabiskan waktu di bar. Gadis
misterius yang tidak diketahui asal-usulnya, bahkan namanya sendiri pun tidak
dijelaskan pada awal cerita.
Buku
ini banyak sekali setting di bar dan kebanyakan berisi tentang pemahaman
tentang kehidupan. Entah saya yang terlalu bodoh atau memang karya Murakami
yang ini memang terlampau tinggi, ada banyak adegan yang tidak bisa saya
tangkap maksudnya. Jujur saja, buku ini sebenarnya sangat tipis namun saya
memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencerna setiap adegan nya.
Memang
buku ini merupakan hasil karya dari Murakami saat Jepang mengalami bubble
economy hingga generasi muda nya merasa gamang. Terlihat dari sikap Nezumi
maupun tokoh aku dalam buku ini, banyak sekali kebimbangan dalam kehidupan
mereka berdua. Dari buku ini saya menemukan beberapa referensi lagu klasik yang
menarik, ini hal yang paling saya suka.
Menurut
saya, dari beberapa karya Murakami yang pernah saya baca karya inilah yang
ceritanya paling rumit. Bahkan sampai sekarang pun saya masih meminjam buku
tersebut lagi untuk membaca bagian yang belum saya tangkap maksudnya.
“Menulis bukanlah cara untuk menyembuhkan diri, melainkan tidak lebih daripada sekadar percobaan-percobaan untuk menyembuhkan diri.”
Tabik,
YH
0 Komentar