Langit mulai muram, awan-awan pekat itu mulai berusaha
bergerak cepat menutupi awan putih yang sedari tadi membuat teduh bumi. Cahaya mentari
mulai terhalang, awan pekat itu terus berjalan. Hawa dingin mulai menyergap,
mengusir kehangatan bumi yang sejak tadi dibuat oleh bias-bias cahaya mentari.
Ah, sepertinya sebentar lagi hujan. Pikirku.
Benar saja, ketika sang langit sudah tertutup dengan
sempurna oleh awan pekat, gemuruh serta kilat pun mulai unjuk gigi. Tak butuh
waktu lama, tetesan air hujan pun mulai berjatuhan membasahi bumi ini.
Tes...
tes.. tes...
Aku memandang serbuan tetes air yang jatuh ke bumi, bertemu
dengan tanah dan menguarkan bau khas. Aku biasa menyebutnya bau hujan. Dulu ketika
aku kecil, sering kali waktu hujan kuhabiskan bersama kawan-kawan untuk bermain
dengan hujan. Menikmati nyanyian hujan dengan tarian riang gembira.
Tes...
tes... tes...
Ya, aku begitu menyukai hujan. Bagiku hujan itu unik dan
menyenangkan. Tiap tetesnya yang jatuh seperti membawa sebuah pesan singkat
yang tak pernah terungkap. Kata Ibu, setiap tetes hujan yang jatuh ke bumi
memiliki tiap pesan dan perasaan yang berbeda–dan semua perkataan yang selalu
dipendam di hati tiap individu. Semua pesan dan perasaan itu di kumpulkan Tuhan
dan di selipkan di tiap-tiap bulir hujan. Kupikir itu pekerjaan yang cukup
berat yang dilakukan oleh Tuhan.
Ada juga yang bilang bahwa hujan itu memiliki orkestra yang
hanya bisa dinikmati oleh hati. Aku setuju, tidak lebih tepatnya aku
memercayainya. Bagiku, hujan memiliki lagu sendu yang terbuat dari pesan dan
perasaan yang tak tersampaikan–seperti kata ibu –yang aku kenal sebagai lagu
kerinduan.
Tes...
tes.. tes...
Aku menyukai cara ibu menceritakan bagaimana tetes hujan
itu menjadi sebuah sesuatu yang menarik, membuatku semakin mencintai hujan.
Lalu, aku menceritakan itu juga kepada temanku, tapi mereka
semua hanya tertawa. Mereka bilang itu hanya bualan. Mereka menjelaskan
berbagai macam proses hujan dalam logika nyata, menerangkan berbagai rumus
bahkan istilah-istilah yang terlihat sangat jenius dan sulit. Aku menepis
penjelasan-penjelasan yang membuat otak ku penuh, aku hanya bisa berteriak, “kenapa
kamu membuat hujan jauh lebih sulit? Apa kamu membenci hujan?”
Teman-temanku pun tergelak, kemudian meluncur sebuah
pernyataan, “tentu saja aku membencinya. Hujan itu hanya membuat repot. Becek,
banjir hingga macet.”
Ada pula yang berkata, “aku takut dengan hujan, menurutku
hujan itu menyeramkan. Seiring waktu aku pun membencinya.”
Aku tidak mengerti jalan pikiran mereka, mereka membuat
hujan dengan cara yang jauh lebih rumit dari ibu bahkan membenci hujan setelah
mereka membuatnya dengan susah payah. Dan apa itu? Ada yang takut dengan hujan?
Aku hanya bisa tersenyum mengejek dalam hati.
Aku percaya, mereka hanya belum mengetahui bagaimana
menyelipkan pesan dan perasaan yang tulus untuk tiap tetes hujan hingga mereka
tidak bisa menikmati nyanyian hujan.
0 Komentar